Pengertian Dan Klarifikasi Junub

Pengertian dan Penjelasan Junub - Junub secara bahasa merupakan lawan dari qurb dan qarabah yang bermakna dekat, sehingga junub artinya jauh. Istilah junub secara syar’i, diberikan kepada orang yang mengeluarkan mani atau orang yang telah melaksanakan jima’. Orang yang demikian dikatakan junub dikarenakan menjauhi dan meninggalkan apa yang dihentikan pelaksanaannya oleh syariat dalam keadaan junub tersebut. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, 16/47).

Dalam pembicaraan wacana janabah dan seorang yang junub, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, di antaranya:

Perkara yang Tidak Dibolehkan bagi Seorang yang Junub


1.    Shalat
Haram bagi seorang yang junub untuk melaksanakan shalat, baik shalat wajib ataukah shalat sunnah/ nafilah. Karena thaharah merupakan syarat sahnya shalat, sedangkan orang yang junub tidak dalam keadaan suci. Oleh lantaran itu, Allah I memerintahkan orang yang junub untuk bersuci dalam firman-Nya:

“Jika kalian junub maka bersucilah.” (Al-Maidah: 6)
Rasulullah r juga telah bersabda:

“Tidak diterima shalat tanpa bersuci.”1
Demikian ijma’ ahlul ilmi. Al-Imam Ibnul Qaththan t berkata: “Ahlul ilmi tidak berbeda pendapat wacana tidak sahnya shalat seseorang yang junub, hingga ia bersuci.” (Al-Iqna’ fi Masa`ilil Ijma’, 1/97)

2.    Thawaf di Baitullah
Orang yang sedang junub tidak boleh melaksanakan thawaf di Baitullah, baik thawaf yang wajib atau nafilah. Karena thawaf itu semakna dengan shalat, sebagaimana sabda Rasulullah r:

“Thawaf di Baitullah itu shalat maka hendaklah kalian mempersedikit berbicara ketika thawaf.”2
Dalam riwayat At-Tirmidzi:

“Thawaf di sekitar Baitullah itu menyerupai shalat, hanya saja kalian dibolehkan berbicara ketika thawaf. Siapa yang berbicara ketika thawaf, maka janganlah ia berbicara kecuali kebaikan.”3

Sehingga jika ada seseorang thawaf dalam keadaan junub, thawafnya tersebut tidaklah sah. Demikian pendapat madzhab Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah. Adapun berdasarkan madzhab Hanafiyyah, thawafnya tersebut sah namun ia wajib menyembelih badanah (unta atau sapi), lantaran thaharah dalam thawaf berdasarkan mereka bukanlah syarat tapi hanyalah kewajiban. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah 16/52, Al-Majmu’ 2/178, Adz-Dzakhirah, karya Al-Imam Al-Qarafi 3/339, Jami’ Fiqhil Imam Ibni Qayyim Al-Jauziyyah 1/303)
3.    Berdiam di masjid

Ulama terbagi dalam tiga pendapat wacana aturan orang yang junub masuk ke dalam masjid:

1. Melarang sama sekali, walau hanya sekedar lewat. Demikian pendapat Al-Imam Malik, Abu Hanifah dan pengikutnya (Al-Mudawwanah Al-Kubra 1/137, Adz Dzakhirah 1/314, Nailul Authar 1/321). Namun, wallahu a’lam, kami tidak mengetahui adanya dalil yang melarang secara mutlak bagi orang junub untuk masuk ke dalam masjid walau hanya sekedar lewat, kecuali hadits:

“Aku tidak menghalalkan masjid bagi perempuan haid dan tidak pula bagi orang yang junub.”4
Dan hadits ini didhaifkan oleh sekelompok ulama, di antaranya Al-Imam Al-Baihaqi, Ibnu Hazm dan Abdul Haq Al-Asybili. Bahkan Ibnu Hazm berkata: “Hadits ini batil.” (Irwa`ul Ghalil 1/162)

2. Melarang, namun dibolehkan jika hanya sekedar lewat, tidak berdiam di dalam masjid. Demikian pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i dan jumhur ahlul ilmi, baik ia punya kebutuhan untuk lewat atau tidak. Sedangkan Al-Imam Ahmad mensyaratkan boleh lewat jika ada kebutuhan. Kebolehan lewat ini dinukilkan pula dari Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Ibnul Musayyib, Ibnu Jubair dan Al-Hasan. (Al-Umm, kitab Ath-Thaharah, cuilan Mamarril Junub wal Musyrik ‘alal Ardhi wa Masyihima ‘alaihima, Al-Majmu’ 2/178,184, Al-Mughni pasal Hukmi Labtsil Junub wal Haidh fil Masjid, Ar-Raudhul Murbi’ 1/60, Asy-Syarhul Mumti’ 1/227, Nailul Authar 1/320)

3. Membolehkan secara mutlak, lewat ataupun berdiam di masjid. Demikian pendapat Dawud Azh-Zhahiri, Ahmad, Al-Muzani dan Asy-Syaikh Al-Albani dari kalangan mutaakhirin. (Syarhus Sunnah 2/46, Subulus Salam 1/142, Nailul Authar 1/322, Tamamul Minnah hal. 119)
Perbedaan pendapat antara pendapat yang kedua dengan pendapat yang ketiga disebabkan perbedaan dalam memahami ayat Allah I:

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendekati/ mengerjakan shalat sedangkan kalian dalam keadaan mabuk hingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan, (dan jangan pula) orang yang junub terkecuali sekedar berlalu saja hingga kalian mandi.” (An-Nisa`: 43)

Mereka yang beropini bolehnya orang junub masuk masjid jika hanya sekedar lewat (seperti pendapatnya Al-Imam Asy-Syafi’i dan yang lainnya) memahami bahwa kata ash-shalah yang tersebut di dalam ayat (jangan kalian mendekati ash-shalah) ialah majaz (bukan makna yang sebenarnya). Sehingga di sana ada kata yang mahdzuf muqaddar (dihapus/dihilangkan yang kata tersebut sanggup ditaqdirkan/ diperkirakan), yaitu (tempat shalat) sehingga yang dimaksud dalam ayat ini ialah (jangan kalian mendekati daerah shalat). Namun jika orang yang junub sekedar lewat di daerah shalat tersebut/ masjid, maka diperkenankan lantaran adanya pengecualian dalam ayat: (kecuali hanya sekedar lewat). Dan pendapat inilah yang kami pilih, wal ‘ilmu ‘indallah.

Adapun mereka yang membolehkan secara mutlak menyerupai pendapat madzhab Zhahiriyyah, memahami ayat tersebut sesuai dengan hakikatnya, tidak ada yang majaz dan tidak ada yang mahdzuf. Sehingga ayat maknanya ialah (jangan kalian mengerjakan shalat). Adapun yang dikecualikan dalam pelarangan ialah musafir yang tidak mendapat air sementara ia sedang junub, maka dibolehkan baginya menger-jakan shalat walaupun ia belum mandi janabah (karena tidak ada air) dengan bertayammum. (Al-Umm, kitab Ath-Thaharah, cuilan Mamarril Junub wal Musyrik ‘alal Ardhi wa Masyihima ‘alaihima, Jami’ul Bayan fi Ta`wilil Qur`an 4/99-102, An-Nukat wal ‘Uyun Tafsir Al-Mawardi 1/489-490, Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim 2/224-226, Fathul Qadir 1/625-627)

Faidah

Adapun jika orang yang junub itu telah berwudhu maka dibolehkan baginya berdiam di masjid. ‘Atha` t berkata: “Aku melihat orang-orang dari kalangan shahabat Rasulullah duduk di masjid dalam keadaan mereka junub. (Hal itu mereka lakukan) jika mereka telah berwudhu menyerupai wudhu untuk shalat.” Karena wudhu yang dilakukan akan meringankan janabah. Demikian pendapat dalam madzhab Al-Imam Ahmad dan selainnya. (Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi 1/26, Jami’ Fiqhil Imam Ibni Qayyim Al-Jauziyyah 1/230, Al-Mughni fashl Idza Tawadha`a Junub falahu Al-Lubts fil Masjid, Nailul Authar 1/322)

Perkara yang Dibolehkan bagi Seorang yang Junub


1.    Berdzikir pada Allah I
Boleh bagi orang yang junub untuk berdzikir kepada Allah I, lantaran Ummul Mukminin ‘Aisyah x mengatakan:

“Adalah Nabi n berdzikir kepada Allah U pada setiap keadaannya.”5
Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Hadits ini merupakan dasar dibolehkannya berdzikir kepada Allah I dengan bertasbih, bertahlil, bertakbir, bertahmid dan semisalnya dzikir-dzikir. Hal ini boleh berdasarkan janji kaum muslimin.” (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 3/290)
Dalam Al-Majmu’ (2/189), ia juga menyatakan adanya janji kaum muslimin wacana bolehnya orang junub dan haid untuk bertasbih, bertahlil, bertakbir, bertahmid, bershalawat atas Rasulullah r dan mengucapkan dzikir-dzikir yang lainnya selain Al-Qur`an6.
Rasulullah r telah menuntunkan:

“Siapa yang terbangun di waktu malam kemudian berucap: Tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya, hanya milik-Nyalah kerajaan dan hanya milik-Nya lah segala kebanggaan dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Segala puji bagi Allah, Maha Suci Allah, tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah, Allah Maha Besar, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan derma Allah. Kemudian ia berkata: Ya Allah, ampunilah aku. Atau ia berdoa, pasti akan dikabulkan doanya tersebut. Bila ia berwudhu dan shalat pasti diterima shalatnya.”7

Dari tuntunan Rasulullah r ini, kita pahami bahwa jika seseorang hendak berdzikir kepada Allah I tidaklah disya-ratkan harus berwudhu terlebih dahulu. Dan tidaklah disyaratkan ia harus suci dari hadats kecil ataupun hadats besar, lantaran orang yang tidur kemudian terbangun sanggup jadi ia dalam keadaan junub lantaran sebelum tidur ia jima’ dengan istrinya atau ia telah ihtilam.

2.    Berjalan di jalan umum dan berjabat tangan
Tidak mengapa bagi orang junub untuk keluar dari rumahnya, berjalan di jalan umum, duduk bersama orang-orang dan berbincang-bincang dengan mereka, sebagaimana yang pernah terjadi pada Abu Hurairah z. Ia keluar dari rumahnya dalam keadaan junub dan berjalan bersama Rasulullah r di jalanan. Abu Hurairah berkata:

“Rasulullah r bertemu denganku ketika saya dalam keadaan junub. Beliau memegang tanganku, akupun berjalan bersama ia hingga ia duduk. Setelah itu saya menyelinap dengan sembunyi-sembunyi dan pulang ke rumah, kemudian saya mandi, kemudian tiba lagi menemui ia yang ketika itu sedang duduk. Beliau bertanya: “Dari mana engkau tadi, wahai Aba Hirr (yakni Abu Hurairah)?” Aku menceritakan apa yang kualami. Beliau bersabda: “Subhanallah, wahai Aba Hirr!! Sungguh mukmin itu tidaklah najis.”8
Demikian halnya Hudzaifah z mempunyai kisah yang hampir sama dengan Abu Hurairah z. Nabi r berjumpa dengannya, kemudian ia mengulurkan tangan ia kepadanya (mengajak berjabat tangan, –pent.). Hudzaifah z berkata: “Aku sedang junub.” Beliau r menjawab:

“Sungguh seorang muslim itu tidaklah najis.”9

3.    Mengakhirkan mandi janabah

Boleh bagi orang yang junub mengakhirkan mandinya (Nailul Authar 1/305). Hal ini lantaran adanya riwayat Ghudhaif ibnul Harits, ia berkata: “Aku pernah bertanya kepada Aisyah x: “Apakah engkau melihat Rasulullah r mandi janabah di awal atau di final malam?” Aisyah x menjawab: “Terkadang ia mandi di awal malam dan terkadang ia mandi di final malam.” Ghudhaif berkata: “Allahu Akbar! Segala puji bagi Allah yang telah menyebabkan kelapangan dalam perkara ini.”10
Ketika men-syarah (menerangkan) hadits Abu Hurairah z yang telah disebutkan di atas, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani t berkata: “Hadits ini menawarkan bolehnya meng-akhirkan mandi dari awal waktu diwajib-kannya mandi tersebut.” (Fathul Bari 1/507)

Daftar Pustaka


1 HR. Muslim no. 534
2 HR. An-Nasa`i no. 2922. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan An-Nasa‘i dan Shahihul Jami‘ no. 3954-3956
3 Riwayat At-Tirmidzi no. 960. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi dan Irwa‘ul Ghalil no. 1102
4 HR. Abu Dawud no. 232. Didhaifkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Irwa‘ul Ghalil no. 124, Dha’if Al-Jami‘ush Shaghir no. 6117 dan Dha’if Sunan Abi Dawud.
5 HR. Al-Bukhari secara mu’allaq dalam kitab Al-Adzan, cuilan Hal Yatatabba’ul Muadzdzin Fahu Hahuna wa Hahuna dan Muslim no. 824.
6 Karena persoalan boleh tidaknya membaca Al-Qur`an bagi perempuan haid dan orang yang junub diperselisihkan oleh ahlul ilmi.
7 HR. Al-Bukhari no. 1154.
8 HR. Al-Bukhari no. 285 dan Muslim no. 822.
9 HR. Abu Dawud no. 230. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud
10 HR. Abu Dawud no. 226. Dihasankan Asy-Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ush Shahih, 1/542.

Sumber: http://asysyariah.com/mandi-janabah.html

0 Response to "Pengertian Dan Klarifikasi Junub"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel