Sejarah Sunan Muria (Raden Umar Said)

Sejarah Sunan Muria Raden Umar Said

Raden Umar Said

Asal-usul

Beliau yakni putra Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh. Nama aslinya Raden Umar Said. Seperti ayahnya, dalam berdakwah ia memakai cara halus, menyerupai mengambil ikan tidak hingga mengeruhkan airnya. Itulah cara yang ditempuh untuk menyiarkan agama Islam di sekitar Gunung Muria.

Tempat tinggal ia di gunung Muria yang salah satu puncaknya berjulukan Colo. Letaknya di sebelah utara kota Kudus. Menurut Solichin Salam, target dakwah ia yakni para pedagang, nelayan, pelaut dan rakyat jelata. Beliaulah satu-satunya wali yang tetap mempertahankan kesenian gamelan dan wayang sebagai alat dakwah untuk memberikan Islam. Dan ia pula yang membuat tembang Sinom dan Kinanti.

Sakti Mandraguna

Bahwa Sunan Muria itu yakni Wali yang sakti, berpengaruh fisiknya sanggup dibuktikan dengan letak Padepokannya yang terletak di atas gunung. Menurut pengalaman penulis (Abu Khalid, MA) jarak antara kaki undag-undagan atau tangga dari bawah bukit hingga ke makam Sunan Muria tidak kurang dari 750 m.

Bayangkanlah, jikalau Sunan Muria dan istrinya atau dengan muridnya setiap hari harus naik turun, turun naik guna membuatkan agama Islam kepada penduduk setempat, atau berdakwah kepada para nelayan dan pelaut serta para pedagang. Hal itu tidak sanggup dilakukannya tanpa adanya fisik yang kuat. Soalnya menunggang kuda mustahil sanggup dilakukan untuk mencapai tempat tinggal Sunan Muria. Harus jalan kaki. Itu berarti Sunan Muria mempunyai kesaktian tinggi, demikian pula murid-muridnya.

Bukti bahwa Sunan Muria yakni guru yang sakti mandraguna sanggup ditemukan dalam kisah Perkawinan Sunan Muria dengan Dewi Roroyono. Dewi Roroyono yakni putri Sunan Ngerang, yaitu seorang ulama yang disegani masyarakat alasannya yakni ketinggian ilmunya, tempat tinggalnya di Juana.

Demikian saktinya Sunan Ngerang ini sehingga Sunan Muria dan Sunan Kudus sampai-sampai mencar ilmu kepada beliau.

Pada suatu hari Sunan Ngerang mengadakan syukuran atas usia Dewi Roroyono yang genap dua puluh tahun. Murid-muridnya diundang semua. Seperti: Sunan Muria, Sunan Kudus. Adipati Pathak Warak, Kapa dan adiknya Gentiri. Tetangga dekat juga diundang, demikian pula sanak kadang yang dari jauh.

Setelah tamu berkumpul Dewi Roroyono dan adiknya yaitu Dewi Roro Pujiwati keluar menghidangkan masakan dan miniman. Keduanya yakni dara-dara yang anggun rupawan. Terutama Dewi Roroyono yang berusia dua puluh tahun, bagaikan bunga yang sedang mekar-mekarnya.

Bagi Sunan Kudus dan Sunan Muria yang sudah berbekal ilmu agama sanggup menahan pandangan matanya sehingga tidak terseret oleh godaan setan. Tapi seorang murid Sunan Ngerang yang lain yaitu Adipati Pathak Warak memandang Dewi Roroyono dengan mata tidak berkedip melihat kecantikan gadis itu.

Sewaktu menjadi cantrik atau murid Sunan Ngerang, yaitu ketika Pathak Warak belum menjadi seorang Adipati, Roroyono masih kecil, belum nampak benar kecantikannya yang mempesona, sekarang, gadis itu benar-benar membuat Adipati Pathak Warak tergila-gila. Sepasang matanya hampir melotot memandangi gadis itu terus menerus.

Karena dibakar api asmara yang menggelora, Pathak Warak tidak tahan lagi. Dia menarik hati Roroyono dengan ucapan-ucapan yang tidak pantas. Lebih-lebih sesudah lelaki itu bertindak kurang ajar.

Tentu saja Roroyono merasa aib sekali, lebih-lebih ketika lelaki itu berlaku kurang didik dengan memegangi bagian-bagian tubuhnya yang tak pantas disentuh. Si gadis naik pitam, nampan berisi minuman yang dibawanya sengaja ditumpahkan ke pakaian sang Adipati.

Pathak Warak menyumpah-nyumpah, hatinya murka sekali diperlakukan mirip itu. Apalagi dilihatnya para tamu menertawakan kekonyolannya itu, diapun semakin malu. Hampir saja Roroyono ditamparnya kalau tidak ingat bahwa gadis itu yakni putri gurunya.

Roroyono masuk kedalam kamarnya, gadis itu menangis sejadi-jadinya alasannya yakni dipermalukan oleh Pathak Warak.

Malam hari tamu-tamu dari dekat sudah pulang ke tempatnya masing-masing. Tamu dari jauh terpaksa menginap di rumah Sunan Ngerang, termasuk Pathak Warak dan Sunan Muria. Namun hingga lewat tengah malam Pathak Warak belum sanggup memejamkan matanya.

Pathak Warak kemudian berdiri dari tidurnya. Mengendap-endap ke kamar Roroyono. Gadis itu disirapnya (sirap atau sirep dikenal sebagai ilmu semacam hipnotis), sehingga tak sadarkan diri, kemudian melalui genteng Pathak Warak melorot turun dan membawa lari gadis itu melalui jendela. Dewi Roroyono dibawa lari ke Mandalika, wilayah Keling atau Kediri.

Setelah Sunan Ngerang mengetahui bahwa putrinya diculik oleh Pathak Warak, maka ia berikrar siapa saja yang berhasil membawa putrinya kembali ke Ngerang akan dijodohkan dengan putrinya itu, dan bila perempuan akan dijadikan saudara Dewi Roroyono. Tak ada yang menyatakan kesanggupannya. Karena semua orang telah maklum akan kehebatan dan kekejaman Pathak Warak. Hanya Sunan Muria yang bersedia memenuhi harapan Sunan Ngerang.

“Saya akan berusaha mengambil Diajeng Roroyono dari tangan Pathak Warak”, kata Sunan Muria.

Tetapi, di tengah perjalanan Sunan Muria bertemu dengan Kapa dan Gentiri, adik seperguruan yang lebih dahulu pulang sebelum program syukuran berakhir. Kedua orang itu merasa heran melihat Sunan Muria berlari cepat menuju arah tempat Keling.

“Mengapa Kakang tampak tergesa-gesa?”, tanya Kapa. Sunan Muria kemudian menceritakan penculikan Dewi Roroyono yang dilakukan oleh Pathak Warak.

Kapa dan Gentiri sangat menghormati Sunan Muria sebagai saudara seperguruan yang lebih tua. Keduanya lantas menyatakan diri untuk membantu Sunan Muria merebut kembali Dewi Roroyono.

“Kakang sebaiknya pulang ke Padepokan Gunung Muria. Murid-murid Kakang sangat membutuhkan bimbingan. Biarlah kami yang berusaha merebut diajeng Roroyono kembali. Kalau berhasil Kakang tetap berhak mengawininya, kami hanya sekedar membantu”, demikian kata Kapa.

“Aku masih sanggup untuk merebutnya sendiri”, ujar Sunan Muria. “Itu benar, tapi membimbing orang memperdalam agama Islam juga lebih penting, percayalah pada kami. Kami niscaya sanggup merebutnya kembali”, kata Kapa ngotot.

Sunan Muria kesudahannya meluluskan undangan adik seperguruannya itu. Rasanya tidak lezat menolak seseorang yang hendak berbuat baik. Lagi pula ia harus menengok para santri di Padepokan Gunung Muria.

Untuk merebut Dewi Roroyono dari tangan Pathak Warak, Kapa dan Gentiri ternyata meminta derma seorang Wiku Lodhang Datuk di pulau Sprapat yang dikenal sebagai tokoh sakti yang jarang ada tandingannya. Usaha mereka berhasil. Dewi Roroyono dikembalikan ke Ngerang.

Hari berikutnya Sunan Muria hendak ke Ngerang. Ingin mengetahui perkembangan perjuangan Kapa dan Gentiri. Di tengah jalan ia bertemu dengan Adipati Pathak Warak.

“Hai Pathak Warak berhenti kau!”, hardik Sunan Muria. Pathak Warak yang sedang naik kuda terpaksa berhenti, alasannya yakni Sunan Muria menghadang di depannya.

“Minggir! Jangan menghalangi jalanku!”, hardik Pathak Warak. “Boleh, asal kamu kembalikan Dewi Roroyono!” “Goblok ! Roroyono sudah dibawa Kapa dan Gentiri! Kini saya hendak mengejar mereka!”, umpat Pathak Warak. “Untuk apa kamu mengejar mereka?” “Merebutnya kembali!”, jawab Pathak Warak dengan sengit. “Kalau begitu langkahi dulu mayatku, Roroyono telah dijodohkan denganku!” ujar Sunan Muria sambil pasang kuda-kuda.

Tanpa basa-basi Pathak Warak melompat dari punggung kuda. Dia merangsak ke arah Sunan Muria dengan jurus-jurus cakar harimau. Tapi dia, bukan tandingan putra Sunan Kalijaga yang mempunyai segudang kesaktian.

Hanya dalam beberapa kali gebrakan, Pathak Warak telah jatuh atau roboh di tanah dalam keadaan fatal. Seluruh kesaktiannya lenyap dan ia menjadi lumpuh, tak bisa untuk berdiri berdiri apalagi berjalan.

Sunan Muria kemudian meneruskan perjalanan ke Juana. Kedatangannya disambut besar hati oleh Sunan Ngerang. Karena Kapa dan Gentiri telah bercerita secara jujur bahwa mereka sendirilah yang memaksa mengambil alih kiprah Sunan Muria mencari Roroyono, maka Sunan Ngerang pada kesudahannya menjodohkan Dewi Roroyono dengan Sunan Muria. Upacara ijab kabul pun segera dilaksanakan.

Kapa dan Gentiri yang berjasa besar itu diberi hadiah Tanah di desa Buntar. Dengan hadiah itu keduanya sudah menjadi orang kaya yang hidupnya serba berkecukupan.

Sedang Sunan Muria segera memboyong istrinya ke Padepokan Gunung Muria. Mereka hidup bahagia, alasannya yakni merupakan pasangan ideal.

Tidak demikian halnya dengan Kapa dan Gentiri. Sewaktu membawa Dewi Roroyono dari Keling ke Ngerang agaknya mereka terlanjur terpesona oleh kecantikan perempuan jelita itu. Siang malam mereka tak sanggup tidur. Wajah perempuan itu senantiasa terbayang. Namun alasannya yakni perempuan itu sudah diperistri abang seperguruannya mereka tak sanggup berbuat apa-apa lagi. Hanya penyesalan yang menghujam di dada. Mengapa dulu mereka buru-buru memperlihatkan jasa baiknya. Betapa enaknya Sunan Muria, tanpa bersusah payah kini menikmati kebahagiaan bersama gadis yang mereka dambakan. Inilah hikmah pemikiran agama biar pria diharuskan menahan pandangan matanya dan menjaga kehormatan (kemaluan) mereka.

Andaikata Kapa dan Gentiri tidak menatap terus menerus kearah wajah dan badan Dewi Roroyono yang indah itu niscaya mereka tidak akan terpesona, dan tidak terjerat oleh Iblis yang memasang perangkap pada pandangan mata.

Kini Kapa dan Gentiri benar-benar telah dirasuki Iblis. Mereka bertekad hendak merebut Dewi Roroyono dari tangan Sunan Muria. Mereka telah setuju untuk mengakibatkan perempuan itu sebagai istri bersama secara bergiliran. Sungguh keji rencana mereka.

Gentiri berangkat lebih dulu ke Gunung Muria. Namun ketika ia hendak melakukan niatnya dipergoki oleh murid-murid Sunan Muria, sehingga terjadilah pertempuran dahsyat. Apalagi ketika Sunan Muria keluar menghadapi Gentiri, suasana menjadi semakin panas, hingga kesudahannya Gentiri tewas menemui ajalnya di puncak Gunung Muria.

Kematian Gentiri cepat tersebar ke banyak sekali daerah. Tapi tidak membuat surut niat Kapa. Kapa cukup cerdik. Dia tiba ke Gunung Muria secara belakang layar di malam hari. Tak seorang pun yang mengetahuinya.

Kebetulan pada dikala itu Sunan Muria dan beberapa murid pilihannya sedang bepergian ke Demak Bintoro. Kapa menyirap (sirep: dikenal sebagai ilmu sirep, semacam hipnotis) murid-murid Sunan Muria yang pandai rendah… yang ditugaskan menjaga Dewi Roroyono. Kemudian dengan mudahnya Kapa menculik dan membawa perempuan impiannya itu ke pulau Seprapat.

Pada dikala yang sama, sepulangnya dari Demak Bintoro, Sunan Muria bermaksud mengadakan kunjungan kepada Wiku Lodhang datuk di Pulau Seprapat. Ini biasa dilakukannya alasannya yakni baginya akrab dengan pemeluk agama lain bukanlah suatu dosa. Terlebih sang Wiku itu pernah menolongnya merebut Dewi Roroyono dari Pathak Warak.

Seperti pemikiran Sunan Kalijaga yang bisa hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain dalam suatu negeri. Lalu ditunjukkan susila Islam yang mulia dan agung. Bukannya berdebat wacana perbedaan agama itu sendiri. Dengan menerapkan ajaran-ajaran susila yang mulia itu nyatanya banyak pemeluk agama lain yang pada kesudahannya tertarik dan masuk Islam secara sukarela.

Ternyata, kedatangan Kapa ke Pulau Seprapat itu tidak disambut baik oleh Wiku Lodhang datuk.

“Memalukan! Benar-benar nista perbuatanmu itu! Cepat kembalikan istri kakang seperguruanmu sendiri itu!”, hardik Wiku Lodhang Datuk dengan marah.

“Bapa Guru ini bagaimana, bukankah saya ini muridmu? Mengapa tidak kamu bela?”protes Kapa. “Sampai mati pun saya takkan sudi membela kebejatan kebijaksanaan pekerti walau pelakunya itu muridku sendiri!”.

Perdebatan antara guru dan murid itu berlangsung lama. Tanpa mereka sadari Sunan Muria sudah hingga di tempat itu. Betapa terkejutnya Sunan Muria melihat istrinya sedang tergolek di tanah dalam keadaan terikat kaki dan tangannya. Sementara Kapa dilihatnya sedang langgar verbal dengan gurunya yaitu Wiku Lodhang Datuk.

Begitu mengetahui kedatangan Sunan Muria, Kapa pribadi melancarkan serangan dengan jurus-jurus maut. Wiku Lodhang Datuk menjauh, melangkah menuju Dewi Roroyono untuk membebaskan dari belenggu yang dilakukan Kapa.

Bersamaan dengan selesainya sang Wiku membuka tali yang mengikat badan Dewi Roroyono. Tiba-tiba terdengar jeritan keras dari verbal Kapa. Ternyata, serangan dengan pengerahan aji kesaktian yang dilakukan Kapa berbalik menghantam dirinya sendiri. Itulah ilmu yang dimiliki Sunan Muria. Mampu membalikkan serangan lawan.

Karena Kapa mempergunakan aji pamungkas yaitu puncak kesaktian yang dimilikinya maka ilmu itu kesudahannya merenggut nyawanya sendiri.

“Maafkan saya tuan Wiku…”, ujar Sunan Muria agak menyesal. “Tidak mengapa. Menyesal saya telah turut memberikan ilmu kepadanya. Ternyata ilmu itu dipakai untuk jalan kejahatan”, gunam sang Wiku.

Bagaimana pun Kapa yakni muridnya, pantaslah kalau dia menguburkannya secara layak. Pada kesudahannya Dewi Roroyono dan Sunan Muria kembali ke Padepokan dan hidup berbahagia.

0 Response to "Sejarah Sunan Muria (Raden Umar Said)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel