Sejarah Sunan Ampel Atau Raden Rahmat

Sejarah Sunan Ampel

Sunan Ampel Raden Rahmat

Asal-usul

Kenalkah anda dengan kawasan Bukhara? Bukhara ini terletak di Samarqand. Sejak dahulu kawasan Samarqand ini dikenal sebagai kawasan Islam yang menelorkan ulama-ulama besar menyerupai sarjana hadits populer yaitu Imam Bukhari yang mashur sebagai pewaris hadits sahih.

Di Samarqand ini ada seorang ulama besar berjulukan Syekh Jamalluddin Jumail Kubra, seorang Ahlussunnah bermahzab Syafi’i, ia memiliki seorang putra berjulukan Ibrahim. Karena berasal dari Samarqand maka Ibrahim kemudian menerima perhiasan Samarqandi. Orang Jawa sangat sukar mengucapkan Samarqandi maka mereka hanya menyebutnya sebagai Syekh Ibrahim Asmarakandi.

Syekh Ibrahim Asmarakandi ini diperintah oleh ayahnya yaitu Syekh Jamalluddin Jumadil Kubra untuk berdakwah ke negara-negara Asia. Perintah ini dilaksanakan, dan ia kemudian diambil menantu oleh raja Cempa, dijodohkan dengan putri raja Cempa yang berjulukan Dewi Candrawulan.

Negeri Cempa ini berdasarkan sebagian andal sejarah terletak di Muangthai (Thailand). Dari perkawinannya dengan Dewi Candrawulan maka Ibrahim Asmarakandi menerima dua orang putra yaitu Sayyid Ali Rahmatullah dan Sayyid Ali Murtadho. Sedangkan adik Dewi Candrawulan yang berjulukan Dewi Dwarawati diperistri oleh Prabu Brawijaya Majapahit. Dengan demikian keduanya yaitu keponakan Ratu Majapahit dan tergolong putra darah biru atau pangeran kerajaan. Para Pangeran atau darah biru kerajaan pada waktu itu menerima gelar Rahadian yang artinya Tuanku, dalam proses selanjutnya sebutan ini cukup dipersingkat Raden.

Raja Majapahit sangat bahagia menerima istri dari negeri Cempa yang wajahnya dan kepribadiannya sangat memikat hati. Sehingga istri-istri lainnya diceraikan, banyak yang diberikan kepada para adipatinya yang tersebar di seluruh Nusantara. Salah satu teladan yaitu istri yang berjulukan Dewi Kian, seorang putri Cina yang diberikan kepada Adipati Ario Damar di Palembang.

Ketika Dewi Kian diceraikan dan diberikan kepada Ario Damar ketika itu sedang hamil tiga bulan. Ario Damar tidak diperkenankan menggauli putri Cina itu hingga si jabang bayi terlahir ke dunia. Bayi dari rahim Dewi Kian itulah yang nantinya berjulukan Raden Hasan atau lebih dikenal dengan nama Raden Patah, salah seorang murid Sunan Ampel yang menjadi raja di Demak Bintoro.

Kerajaan Majapahit setelah ditinggal Mahapatih Gajah Mada dan Prabu Hayam Wuruk mengalami kemunduran drastis. Kerajaan terpecah belah alasannya terjadinya perang saudara, dan para adipati banyak yang tak loyal lagi kepada keturunan Prabu Hayam Wuruk yaitu Prabu Brawijaya.

Pajak dan upeti kerajaan tak banyak yang hingga ke istana Majapahit. Lebih sering dinikmati oleh para adipati itu sendiri. Hal ini membuat Prabu bersedih hati. Lebih-lebih lagi dengan adanya kebiasaan jelek kaum darah biru dan para pangeran yang suka berpesta pora dan main judi serta mabuk-mabukan. Prabu Brawijaya sadar betul bila kebiasaan semacam itu diteruskan negara akan menjadi lemah dan bila negara sudah kehilangan kekuatan betapa mudahnya bagi musuh untuk menghancurkan Majapahit Raya.

Ratu Dwarawati, yaitu istri Prabu Brawijaya mengetahui kerisauan hati suaminya. Dengan memberanikan diri dia mengajukan pendapat kepada suaminya. “Saya memiliki seorang keponakan yang andal mendidik dalam hal mengatasi kemerosotan kebijaksanaan pekerti,” kata ratu Dwarawati.

“Betulkah?” tanya sang Prabu. “Ya namanya Sayyid Ali Rahmatullah. Putra dari kanda Dewi Candrawulan di negeri Cempa. Bila kanda berkenan saya akan meminta Ramanda Prabu di Cempa untuk mendatangkan Ali Rahmatullah ke Majapahit ini”.

“Tentu saja saya akan merasa bahagia bila Rama Prabu di Cempa bersedia mengirimkan Sayyid Ali Rahmatullah ke Majapahit ini”, kata Raja Brawijaya.

Ke Tanah Jawa
Maka pada suatu hari diberangkatkanlah utusan dari Majapahit ke negri Cempa untuk meminta Sayyid Ali Rahmatullah tiba ke Majapahit. Kedatangan utusan Majapahit disambut besar hati oleh Raja Cempa, dan raja Cempa tidak keberatan melepas cucunya ke Majapahit untuk meluaskan pengalaman.

Keberangkatan Sayyid Ali Rahmat ke Tahan Jawa tidak sendirian. Ia ditemani oleh ayah dan kakaknya sebagaimana disebutkan di atas. Ayah Sayyid Ali Rahmat yaitu Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi dan kakaknya berjulukan Sayyid Ali Murtadho. Diduga mereka tidak pribadi ke Majapahit, melainkan mendarat di Tuban. Tetapi di Tuban, tepatnya di desa Gesikharjo, Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi jatuh sakit dan meninggal dunia, ia dimakamkan di desa tersebut yang masih termasuk kecamatan Palang Kabupaten Tuban.

Sayyid Murtadho kemudian meneruskan perjalanan, ia berdakwah keliling ke kawasan Nusa Tenggara, Madura dan hingga ke Bima. Di sana ia menerima sebutan raja Pandita Bima, dan kesannya berdakwah di Gresik menerima sebutan Raden Santri, ia wafat dan dimakamkan di Gresik. Sayyid Ali Rahmatullah meneruskan perjalanan ke Majapahit menghadap Prabu Brawijaya sesuai usul Ratu Dwarawati.

Kapal layar yang ditumpanginya mendarat di Pelabuhan Canggu. Kedatangannya disambut dengan suka cita oleh Prabu Kertabumi. Lebih lebih lagi Ratu Dwarawati bibinya sendiri, perempuan itu memeluknya erat erat seolah sedang memeluk kakak perempuannya yang berada di istana Kerjaan Cempa. Wajah keponakannya itu memang menyerupai dengan kakak perempuannya.

“Nanda Rahmatullah, bersediakah engkau menunjukkan pelajaran atau mendidik kaum darah biru dan rakyat Majapahit supaya memiliki kebijaksanaan pekerti mulia?” tanya sang Prabu setelah Sayyid Rahmatullah beristirahat melepas lelah. Dengan sikapnya yang sopan santun tutur kata yang halus Sayyid Ali Rahmatullah menjawab,”Dengan bahagia hati Gusti Prabu, saya akan berusaha sekuat-kuatnya untuk mencurahkan kemampuan saya mendidik mereka”.

“Bagus!” sahut sang Prabu. “Bila demikian kamu akan kuberi hadiah sebidang tanah berikut bangunannya di Surabaya. Di sanalah kamu akan mendidik para darah biru dan pageran Majapahit supaya berbudi pekerti mulia”.

“Terima kasih saya haturkan Gusti Prabu”,” jawab Sayyid Ali Rahmatullah. Disebutkan dalam literatur bahwa selanjutnya Sayyid Ali Rahmatullah menetap beberapa hari di istana Majapahit dan dijodohkan dengan salah putri Majapahit yang berjulukan Dewi Candrowati atau Nyai Ageng Manila. Dengan demikian Sayyid Ali Rahmatullah yaitu salah seorang Pangeran Majapahit, alasannya dia yaitu menantu raja Majapahit.

Semenjak Sayyid Ali Rahmatullah diambil menantu Raja Brawijaya, maka ia yaitu anggota keluarga kerajaan Majapahit atau salah seorang pangeran. Para pangeran pada jaman dulu ditandai dengan nama depan Rahadian atau Raden yang berarti Tuanku. Selanjutnya ia lebih dikenal dengan sebutan Raden Rahmat.

Ampeldenta
Selanjutnya, pada hari yang telah ditentukan berangkatlah rombongan Raden Rahmat ke sebuah kawasan di Surabaya yang kemudian disebut dengan Ampeldenta.

Rombongan itu melalui desa Krian, Wonokromo terus memasuki Kembangkuning. Selama dalam perjalanan ia juga berdakwah kepada penduduk setempat yang dilaluinya. Dakwah yang pertama kali dilakukannya cukup unik. Beliau membuat kerajinan berbentuk kipas yang terbuat dari akar tumbuh-tumbuhan tertentu dan dianyam rotan. Kipas-kipas itu dibagi-bagikan kepada penduduk setempat secara gratis. Para penduduk hanya cukup menukarkannya dengan kalimah syahadat.

Penduduk yang mendapatkan kipas itu merasa sangat senang. Terlebih setelah mereka mengetahui kipas itu bukan sembarang kipas, akar yang dianyam bersama rotan itu ternyata berdaya penyembuh bagi mereka yang terkena penyakit batuk dan demam. Dengan cara itu semakin banyak orang yang berdatangan kepada Raden Rahmat. Pada ketika demikianlah ia memperkenalkan keindahan agama Islam sesuai tingkat pemahaman mereka.

Cara itu terus dilakukan hingga rombongan memasuki desa Kembangkuning. Pada ketika itu wilayah desa Kembangkuning belum seluas kini ini. Di sana-sini masih banyak hutan dan digenangi air atau rawa-rawa. Dengan karomahNYA, Raden Rahmat bersama rombongan membuka hutan dan mendirikan tempat sembahyang sederhana atau langgar. Tempat sembahyang tersebut kini telah dirubah menjadi Masjid yang cukup besar dan bagus, dinamakan sesuai dengan nama Raden Rahmat yaitu Masjid Rahmat Kembangkuning.

Di tempat itu pula Raden Rahmat bertemu dan berkenalan dengan dua tokoh masyarakat yaitu: Ki Wiryo Sarojo dan Ki Bang Kuning. Kedua tokoh masyarakat itu bersama keluarganya masuk Islam dan menjadi pengikut Raden Rahmat.

Dengan adanya kedua tokoh masyarakat itu maka semakin gampang bagi Raden Rahmat untuk mengadakan pendekatan kepada masyarakat sekitarnya. Terutama kepada masyarakat yang masih memegang teguh moral kepercayaan lama. Beliau tidak pribadi melarang mereka, melainkan memberi pengertian bertahap perihal pentingnya pemikiran ketauhidan. Jika mereka sudah mengenal tauhid atau keimanan kepada Tuhan Pencipta Alam, maka secara otomatis mereka akan meninggalkan sendiri kepercayaan usang yang bertentangan dengan pemikiran Islam.

Setelah hingga di tempat tujuan, pertama kali yang dilakukannya yaitu membangun Masjid sebagai sentra kegiatan ibadah. Ini meneladani apa yang telah dilakukan Nabi Muhammad saw ketika pertama kali hingga di Madinah.

Dan alasannya ia menetap di desa Ampeldenta, menjadi penguasa kawasan tersebut maka kemudian ia dikenal sebagai Sunan Ampel. Sunan berasal dari kata Susuhunan, artinya Yang dijunjung Tinggi atau panutan masyarakat setempat. Ada juga yang menyampaikan Sunan berasal dari kata Suhu Nan artinya Guru Besar atau Orang Yang Berilmu Tinggi.

Selanjutnya ia mendirikan pesantren tempat mendidik putra darah biru dan pangeran Majapahit serta siapa saja yang mau tiba belajar kepada beliau.

Ajarannya yang terkenal
Hasil didikan ia yang populer yaitu falsafah Moh Limo atau Tidak Mau Melakukan Lima Hal tercela yaitu:

1. Moh Main atau Tidak Mau Berjudi
2. Moh Ngombe atau Tidak Mau Minum Arak atau Bermabuk-mabukan
3. Moh Maling atau Tidak Mau Mencuri
4. Moh Madat atau Tidak Mau Menghisap candu, ganja dan lain-lain
5. Moh Madon atau Tidak Mau Berzina/main perempuan yang bukan istrinya

Prabu Brawijaya sangat bahagia atas hasil didikan Raden Rahmat. Raja menganggap agama Islam itu yaitu pemikiran kebijaksanaan pekerti yang mulia, maka ketika Raden Rahmat kemudian mengumumkan ajarannya yaitu agama Islam maka Prabu Brawijaya tidak menjadi marah, hanya saja ketika dia diajak untuk memeluk agama Islam ia tidak mau. Ia ingin menjadi Raja Budha yang terakhir di Majapahit.

Raden Rahmat diperbolehkan menyiarkan agama Islam di wilayah Surabaya bahkan di seluruh wilayah Majapahit, dengan catatan bahwa rakyat dilarang dipaksa. Raden Rahmat pun memberi klarifikasi bahwa tidak ada paksaan dalam beragama.

Sesepuh Walisongo
Setelah Syekh Maulana Malik Ibrahim wafat, maka Sunan Ampel diangkat sebagai sesepuh Walisongo, sebagai Mufti atau pemimpin agama Islam se Tanah Jawa. Beberapa murid dan putra Sunan Ampel sendiri juga menjadi anggota Walisongo, mereka adalah: Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajad, Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Kota atau Raden Patah, Sunan Kudus, Sunan Gunungjati.

Raden Patah atau Sunan Kota memang pernah menjadi anggota Walisongo menggantikan kedudukan salah seorang wali yang meninggal dunia. Dengan diangkatnya Sunan Ampel sebagai sesepuh maka para wali lain tunduk patuh kepada kata-katanya. Termasuk fatwa ia dalam memutuskan peperangan dengan pihak Majapahit.

Para wali yang lebih muda menginginkan supaya tahta Majapahit direbut dalam tempo secepat-cepatnya. Tetapi Sunan Ampel beropini bahwa duduk kasus tahta Majapahit tidak perlu diserang secara langsung, alasannya kerajaan besar itu sesungguhnya sudah keropos dari dalam. Tak usah diserang oleh Demak Bintoro pun bekerjsama Majapahit akan segera runtuh. Para wali yang lebih muda menganggap Sunan Ampel telah lamban dalam menunjukkan nasehat kepada Raden Patah.

“Mengapa Ramanda beropini demikian?” tanya Raden Patah terhitung menantunya sendiri. “Karena saya tidak ingin di kemudian hari ada orang menuduh Raja Demak Bintoro yang masih putra Majapahit Prabu Kertabumi telah berlaku durhaka yaitu berani menyerang ayahandanya sendiri”, jawab Sunan Ampel dengan tenang.

“Lalu apa yang harus saya lakukan?” “Kau harus sabar menunggu sembari menyusun kekuatan,” ujar Sunan Ampel. “Tak usang lagi Majapahit akan runtuh dari dalam. Diserang adipati lain. Pada ketika itulah kamu berhak merebut hak warismu selaku putra Prabu Kertabumi”.

“Majapahit diserang adipati lain? Apakah saya tidak berkewajiban membelanya?” “Inilah ketentuan Tuhan,” sahut Sunan Ampel. “Waktu kejadiannya masih dirahasiakan. Aku sendiri tidak tahu persis kapankah kejadian itu akan berlangsung. Yang terang bukan kamu adipati yang menyerang Majapahit itu”, Sunan Ampel yaitu Penasehat Politik Demak Bintoro. Sekaligus merangkap Pemimpin Walisongo atau Mufti Agama se-Tanah Jawa. Maka fatwanya dipatuhi banyak orang.

Kekuatiran Sunan Ampel tersebut memang terbukti. Di kemudian hari ternyata ada orang-orang pembenci Islam memutarbalikkan fakta sejarah. Mereka menuliskan bahwa Majapahit jatuh diserang oleh kerajaan Demak Bintoro yang Rajanya yaitu putra Raja Majapahit sendiri. Dengan demikian Raden Patah dianggap sebagai Anak Durhaka. Ini sanggup anda lihat di dalam Serat Darmo Gandul maupun sejarah yang ditulis para Sarjana yang membenci Islam.

Raden Patah dan para wali lainnya kesannya tunduk patuh pada fatwa Sunan Ampel. Tibalah saatnya Sunan Ampel wafat pada tahun 1478. Sunan Kalijaga diangkat sebagai penasehat penggalan politik Demak. Sunan Giri diangkat sebagai pengganti Sunan Ampel sebagai Mufti, pemimpin para Wali dan pemimpin agama se-Tanah Jawa. Sesepuh yang selalu dimintai pertimbangannya. Setelah Sunan Giri diangkat sebagai Mufti sikapnya terhadap Majapahit kini berubah. Ia menyetujui usul Aliran Tuban untuk mencari fatwa kepada Raden Patah supaya menyerang Majapahit.

Mengapa Sunan Giri bersikap demikian? Karena pada tahun 1478 Kerajaan Majapahit diserang oleh Prabu Rana Wijaya atau Girindrawardhana dari Kadipaten Kediri atau Keling. Dengan demikian sudah tepatlah bila Sunan Giri menyetujui penyerangan Demak atas Majapahit. Sebab pewaris sah tahta kerajaan Majapahit yaitu Raden Patah selaku putera Raja Majapahit yang terakhir.

Demak kemudian berkemas-kemas menyusun kekuatan. Namun belum lagi serangan dilancarkan, Prabu Rana Wijaya keburu tewas diserang oleh Prabu Udara pada tahun 1498.

Pada tahun 1512, Prabu Udara selaku Raja Majapahit merasa terancam kedudukannya alasannya melihat kedudukan Demak yang didukung Sunan Giri Kedaton semakin berpengaruh dan mapan. Prabu Udara kawatir bila terjadi peperangan akan menderita kekalahan, maka dia minta berhubungan dan minta dukungan Portugis di Malaka. Padahal Putera Mahkota Demak yaitu Pati Unus pada tahun 1511 telah menyerang Portugis di Malaka.

Sejarah mencatat bahwa Prabu Udara telah mengirim utusan ke Malaka untuk menemui Alfonso d’Albuquerque untuk menyerahkan hadiah berupa 20 genta (gamelan), sepotong kain panjang berjulukan Beirami tenunan Kambayat, 13 batang lembing yang ujungnya berbesi dan sebagainya. Maka tidak salah bila pada tahun 1517 Demak menyerang Prabu Udara yang merampas tahta Majapahit secara tidak sah. Dengan demikian jatuhlah Majapahit ke tangan Demak. Seandainya Demak tidak segera menyerang Majapahit tentu bangsa Portugis akan menjajah tanah Jawa jauh lebih cepat daripada bangsa Belanda. Setelah Majapahit jatuh pusaka kerajaan diboyong ke Demak Bintoro. Termasuk Mahkota Rajanya. Raden Patah diangkat sebagai Raja Demak yang pertama.

Sunan Ampel juga turut membantu mendirikan Masjid Agung Demak yang didirikan pada tahun 1477 M. Salah satu di antara empat tiang utama Masjid Demak hingga kini masih diberi nama sesuai dengan yang membuatnya yaitu Sunan Ampel.

Beliau pula yang pertama kali membuat Huruf Pegon atau Tulisan Arab berbunyi bahasa Jawa. Dengan abjad pegon ini ia sanggup memberikan ajaran-ajaran Islam kepada muridnya. Hingga kini abjad pegon tetap digunakan sebagai materi pelajaran agama Islam di kalangan pesantren.

Penyelamat Akidah
Sikap Sunan Ampel terhadap moral istiadat usang sangat berhati-hati, hal ini didukung oleh Sunan Giri dan Sunan Drajad. Seperti yang pernah tersebut dalam permusyawaratan para wali di Masjid Agung Demak. Pada waktu itu Sunan Kalijaga mengusulkan supaya moral istiadat Jawa menyerupai selamatan, bersaji, kesenian wayang dan gamelan dimasuki rasa keislaman. Mendengar pendapat Sunan Kalijaga tersebut bertanyalah Sunan Ampel “Apakah tidak mengkawatirkan di kemudian hari bahwa moral istiadat dan upacara usang itu nanti dianggap sebagai pemikiran yang berasal dari agama Islam? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi bid’ah.?”

Dalam musyawarah itu Sunan Kudus menjawab pertanyaan Sunan Ampel,”Saya oke dengan pendapat Sunan Kalijaga, bahwa moral istiadat usang yang masih bisa diarahkan kepada agama Tauhid maka kita akan memberinya warna Islam. Sedang moral dan kepercayaan usang yang jelas-jelas menjurus kearah kemusyrikan kita tinggal sama sekali. Sebagai misal gamelan dan wayang kulit, kita bisa memberinya warna Islam sesuai dengan selera masyarakat. Adapun perihal kekawatiran Kanjeng Sunan Ampel, saya memiliki keyakinan bahwa di belakang hari akan ada orang yang menyempurnakannya.”

Sebaliknya, adanya pendapat Sunan Ampel yang menginginkan Islam harus disiarkan dengan murni dan konsekuen juga mengandung hikmah kebenaran yang hakiki, sehingga membuat ummat semakin berhati-hati menjalankan syariat agama secara benar dan higienis dari segala macam bid’ah. Inilah jasa Sunan Ampel yang sangat besar, dengan peringatan inilah ia telah menyelamatkan aqidah ummat supaya tidak tergelincir ke lembah musyrik.

Sunan Ampel wafat pada tahun 1478 M, ia dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel.

Murid-murid Sunan Ampel
Murid-murid Sunan Ampel itu banyak sekali, baik dari kalangan darah biru dan para pangeran Majapahit maupun dari kalangan rakyat jelata. Bahkan beberapa anggota Walisongo yaitu murid-murid ia sendiri.

Kali ini kami tampilkan dua kisah murid Sunan Ampel yang makamnya tak jauh dari lokasi Sunan Ampel dimakamkan, yaitu:

Kisah Mbah Soleh
Mbah Soleh yaitu salah satu dari sekian banyak murid Sunan Ampel yang memiliki karomah atau keistimewaan.

Adalah sebuah keajaiban yang tak ada duanya, ada seorang insan dikubur hingga sembilan kali. Ini bukan dongeng buatan melainkan ada buktinya. Di sebelah timur Masjid Agung Sunan Ampel ada sembilan kuburan. Itu bukan kuburan sembilan orang tapi hanya kuburan seorang yaitu murid Sunan Ampel yang berjulukan Mbah Soleh.

Kisahnya demikian, Mbah Soleh yaitu tukang sapu masjid Ampel di masa hidupnya Sunan Ampel. Apabila menyapu lantai Masjid sangatlah higienis sekali sehingga orang yang sujud di masjid tanpa sajadah tidak merasa ada debunya.

Ketika Mbah Soleh wafat ia dikubur di depan masjid. Ternyata tidak ada santri yang sanggup mengerjakan pekerjaan Mbah Soleh yaitu menyapu lantai masjid dengan higienis sekali. Maka semenjak ditinggal Mbah Soleh masjid itupun lantainya menjadi kotor. Kemudian terucaplah kata-kata Sunan Ampel. “Bila Mbah Soleh masih hidup tentulah masjid ini menjadi bersih”.

Mendadak Mbah Soleh ada di pengimaman masjid sedang menyapu lantai. Seluruh lantai pun kini menjadi higienis lagi. Orang-orang pada terheran melihat Mbah Soleh hidup lagi.

Beberapa bulan kemudian Mbah Soleh wafat lagi dan dikubur disamping kuburannya dulu. Masjid menjadi kotor lagi, kemudian terucaplah kata-kata Sunan Ampel menyerupai dulu. Mbah Soleh pun hidup lagi. Hal ini berlangsung beberapa kali sehingga kuburannya ada delapan. Pada ketika kuburan Mbah Soleh ada delapan Sunan Ampel meninggal dunia. Beberapa bulan kemudian Mbah Soleh meninggal dunia, sehingga kuburan Mbah Soleh ada sembilan. Kuburan yang terakhir berada di ujung paling timur.

Jika anda sempat berziarah ke makam Sunan Ampel, jangan lupa untuk berdo’a di depan makam Mbah Soleh.

Kisah Mbah Sonhaji
Mbah Sonhaji sering disebut Mbah Bolong. Apa pasalnya? Ini bukan gelar kosong atau sekedar olok-olokan. Beliau yaitu salah seorang murid Sunan Ampel yang juga memiliki karomah.

Kisahnya demikian. Pada waktu pembangunan masjid Agung Ampel, Sonhaji lah yang ditugasi mengatur tata letak pengimamannya. Sonhaji bekerja dengan tekun dan penuh perhitungan, jangan hingga letak pengimaman masjid itu tidak menghadap ke arah kiblat. Tapi setelah bangunan pengimaman itu jadi banyak orang yang mencurigai keakuratannya.

“Apa betul letak pengimaman masjid ini sudah menghadap ke kiblat?” demikian tanya orang yang mencurigai pekerjaan Sonhaji. Sonhaji tidak menjawab, melainkan melubangi dinding pengimaman sebelah barat kemudian berkata,”Lihatlah ke dalam lubang ini, kalian akan tahu apakah pengimaman ini sudah menghadap kiblat atau belum?”

Orang-orang itu segera melihat ke dalam lubang yang dibentuk Sonhaji. Ternyata di dalam lubang itu mereka sanggup melihat Ka’bah yang berada di Mekah. Orang-orang pada melongo, terkejut, kagum dan kesannya tak berani meremehkan Sonhaji lagi. Dan semenjak ketika itu mereka lebih bersikap hormat kepada Sonhaji dan mereka memberinya julukan Mbah Bolong.

Dari kisah karomah para wali ataupun para murid wali, seyogyanya menjadi pelajaran bagi mereka yang masih hidup. Ambil contoh, kisah Mbah Soleh di atas, seharusnya mereka yang masih hidup mau meneladani sifat dan perilaku Mbah Soleh yang menyukai Masjidnya selalu bersih, alasannya masjid merupakan tempat yang perlu dijaga kebersihan dan kesuciannya.

Begitulah riwayat singkat Sunan Ampel dan 2 orang muridnya. Semoga kisah mereka bisa menjadi pelajaran hidup bagi kita sebagai generasi penerus mereka, dan semoga amal baik mereka menerima jawaban yang baik dari Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Amin.

0 Response to "Sejarah Sunan Ampel Atau Raden Rahmat"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel