Sejarah Berdirinya Kabupaten Bandung

Berdirinya Kabupaten Bandung - Sebelum Kabupaten Bandung berdiri, kawasan Bandung dikenal dengan sebutan "Tatar Ukur". Menurut naskah Sadjarah Bandung, sebelum Kabupaten Bandung berdiri, Tatar Ukur yaitu termasuk kawasan Kerajaan Timbanganten dengan ibukota Tegalluar. Kerajaan itu berada dibawah dominasi Kerajaan Sunda-Pajajaran. Sejak pertengahan kurun ke-15, Kerajaan Timbanganten diperintah secara turun temurun oleh Prabu Pandaan Ukur, Dipati Agung, dan Dipati Ukur. Pada masa pemerintahan Dipati Ukur, Tatar Ukur merupakan suatu wilayah yang cukup luas, meliputi sebagian besar wilayah Jawa Barat, terdiri atas sembilan kawasan yang disebut "Ukur Sasanga".

Setelah Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh (1579/1580) akhir gerakan Pasukan banten dalam perjuangan membuatkan agama Islam di kawasan Jawa Barat, Tatar Ukur menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Sumedanglarang, penerus Kerajaan Pajajaran. Kerajaan Sumedanglarang didirikan dan diperintah pertama kali oleh Prabu Geusan Ulun pada (1580-1608), dengan ibukota di Kutamaya, suatu tempat yang terletak sebelah Barat kota Sumedang sekarang. Wilayah kekuasaan kerajaan itu meliputi kawasan yang lalu disebut Priangan, kecuali kawasan Galuh (sekarang berjulukan Ciamis).

Ketika Kerajaan Sumedang Larang diperintah oleh Raden Suriadiwangsa, anak tiri Geusan Ulun dari rtu Harisbaya, Sumedanglarang menjadi kawasan kekuasaan Mataram semenjak tahun 1620. Sejak itu status Sumedanglarang pun berubah dari kerajaan menjadi kabupaten dengan nama Kabupaten Sumedang. Mataram menyebabkan Priangan sebagai kawasan pertahanannya di penggalan Barat terhadap kemungkinan serangan Pasukan Banten dan atau Kompeni yang berkedudukan di Batavia, alasannya yaitu Mataram di bawah pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) bermusuhan dengan Kompeni dan konflik dengan Kesultanan Banten.

Untuk mengawasi wilayah Priangan, Sultan Agung mengangkat Raden Aria Suradiwangsa menjadi Bupati Wedana (Bupati Kepala) di Priangan (1620-1624), dengan gelar Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata, populer dengan sebutan Rangga Gempol I.

Tahun 1624 Sultan agung memerintahkan Rangga Gempol I untuk menaklukkan kawasan Sampang (Madura). Karenanya, jabatan Bupati Wedana Priangan diwakilkan kepada adik Rangga Gempol I pangeran Dipati Rangga Gede. Tidak usang sehabis Pangeran Dipati Rangga Gede menjabat sebagai Bupati Wedana, Sumedang diserang oleh Pasukan Banten. Karena sebagian Pasukan Sumedang berangkat ke Sampang, Pangeran Dipati Rangga Gede tidak sanggup mengatasi serangan tersebut. Akibatnya, ia mendapatkan hukuman politis dari Sultan Agung. Pangeran Dipati Rangga Gede ditahan di Mataram. Jabatan Bupati Wedana Priangan diserahkan kepada Dipati Ukur, dengan syarat ia harus sanggup merebut Batavia dari kekuasaan Kompeni.

Tahun 1628 Sultan Agung memerintahkan Dipati Ukur untuk membantu pasukan Mataram menyerang Kompeni di Batavia. Akan tetapi serangan itu mengalami kegagalan. Dipati Ukur menyadari bahwa sebagai konsekwensi dari kegagalan itu ia akan menerima eksekusi ibarat yang diterima oleh Pangeran Dipati Rangga gede, atau eksekusi yang lebih berat lagi. Oleh alasannya yaitu itu Dipati Ukur beserta para pengikutnya membangkang terhadap Mataram. Setelah penyerangan terhadap Kompeni gagal, mereka tidak tiba ke Mataram melaporkan kegagalan tugasnya. Tindakan Dipati Ukur itu dianggap oleh pihak Mataram sebagai pemberontakan terhadap penguasa Kerajaan Mataram.

Terjadinya pembangkangan Dipati Ukur beserta para pengikutnya dimungkinkan, antara lain alasannya yaitu pihak Mataram sulit untuk mengawasi kawasan Priangan secara langsung, akhir jauhnya jarak antara Pusat Kerajaan Mataram dengan kawasan Priangan. Secara teoritis, jika kawasan tersebut sangat jauh dari sentra kekuasaan, maka kekuasaan sentra di kawasan itu sangat lemah. Walaupun demikian, berkat proteksi beberapa Kepala kawasan di Priangan, pihak Mataram kesannya sanggup memadamkan pemberontakan Dipati Ukur. Menurut Sejarah Sumedang (babad), Dipati Ukur tertangkap di Gunung Lumbung (daerah Bandung) pada tahun 1632.

Setelah "pemberontakan" Dipati Ukur dianggap berakhir, Sultan Agung menyerahkan kembali jabatan Bupati Wedana Priangan kepada Pangeran Dipati Rangga Gede yang telah bebas dari hukumannya. Selain itu juga dilakukan reorganisasi pemerintahan di Priangan untuk menstabilkan situasi dan kondisi kawasan tersebut. Daerah Priangan di luar Sumedang dan Galuh dibagi menjadi tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Bandung, Kabupaten Parakanmuncang dan Kabupaten Sukapura dengan cara mengangkat tiga kepala kawasan dari Priangan yang dianggap telah berjasa menumpas pemberontakan Dipati Ukur.

Ketiga orang kepala kawasan dimaksud yaitu Ki Astamanggala, umbul Cihaurbeuti diangkat menjadi mantri agung (bupati) Bandung dengan gelar Tumenggung Wiraangunangun, Tanubaya sebagai bupati Parakanmuncang dan Ngabehi Wirawangsa menjadi bupati Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha. Ketiga orang itu dilantik secara bersamaan menurut "Piagem Sultan Agung", yang dikeluarkan pada hari Sabtu tanggal 9 Muharam Tahun Alip (penanggalan Jawa). Dengan demikian, tanggal 9 Muharam Taun Alip bukan hanya merupakan hari jadi Kabupagten Bandung tetapi sekaligus sebagai hari jadi Kabupaten Sukapura dan Kabupaten Parakanmuncang.

Berdirinya Kabupaten Bandung, berarti di kawasan Bandung terjadi perubahan terutama dalam bidang pemerintahan. Daerah yang semula merupakan penggalan (bawahan) dari pemerintah kerajaan (Kerajaan Sunda-Pajararan lalu Sumedanglarang) dengan status yang tidak jelas, menjelma kawasan dengan sttus administrative yang jelas, yaitu kabupaten.

Setelah ketiga bupati tersebut dilantik di sentra pemerintahan Mataram, mereka kembali ke kawasan masing-masing. Sadjarah Bandung (naskah) menyebutkan bahwa Bupati Bandung Tumeggung Wiraangunangun beserta pengikutnya dari Mataram kembali ke Tatar Ukur. Pertama kali mereka dating ke Timbanganten. Di sana bupati Bandung mendapatkan 200 cacah. Selanjutnya Tumenanggung Wiraangunangun bersama rakyatnya membangun Krapyak, sebuah tempat yang terletak di tepi Sungat Citarum bersahabat muara Sungai Cikapundung, (daerah pinggiran Kabupaten Bandung penggalan Selatan) sebagai ibukota kabupaten. Sebagai kawasan sentra kabupaten Bandung, Krapyak dan kawasan sekitarnya disebut Bumi kur Gede.

Wilayah administrative Kabupaten Bandung di bawah efek Mataram (hingga simpulan kurun ke-17), belum diketahui secara pasti, alasannya yaitu sumber akurat yang memuat data ihwal hal itu tidak/belum ditemukan. Menurut sumber pribumi, data tahap awal Kabupaten Bandung meliputi beberapa kawasan antara lain Tatar Ukur, termasuk kawasan Timbanganten, Kuripan, Sagaraherang, dan sebagian Tanahmedang.
Boleh jadi, kawasan Priangan di luar Wilayah Kabupaten Sumedang, Parakanmuncang, Sukapura dan Galuh, yang semula merupakan wilayah Tatar Ukur (Ukur Sasanga) pada masa pemerintahan Dipati Ukur, merupakan wilayah administrative Kabupaten Bandung waktu itu. Bila dugaan ini benar, maka Kabupaten Bandung dengan ibukota Krapyak, daerahnya meliputi kawasan Timbanganten, Gandasoli, Adiarsa, Cabangbungin, Banjaran, Cipeujeuh, Majalaya, Cisondari, Rongga, Kopo, Ujungberung dan lain-lain, termasuk kawasan Kuripan, Sagaraherang dan Tanahmedang.

Kabupaten Bandung sebagai salah satu Kabupaten yang dibuat Pemerintah Kerajaan Mataram, dan berada di bawah efek penguasa kerajaan tersebut, maka sistem pemerintahan Kabupaten Bandung mempunyai sistem pemerintahan Mataram. Bupati mempunyai banyak sekali jenis symbol kebesaran, pengawal khusus dan prajurit bersenjata. Simbol dan atribut itu menambah besar dan kuatnya kekuasaan serta efek Bupti atas rakyatnya.

Besarnya kekuasaan dan efek bupati, antara lain ditunjukkan oleh pemilikan hak-hak istimewa yang biasa dmiliki oleh raja. Hak-hak dimaksud yaitu hak mewariskan jabatan, ha memungut pajak dalam bentuk uang dan barang, ha memperoleh tenaga kerja (ngawula), hak berburu dan menangkap ikan dan hak mengadili.

Dengan sangat terbatasnya pengawasan eksklusif dari penguasa Mataram, maka tidaklah heran apabila waktu itu Bupati Bandung khususnya dan Bupati Priangan umumnya berkuasa ibarat raja. Ia berkuasa penuh atas rakyat dan daerahnya. Sistem pemerinatahn dan gaya hidup bupati merupakan miniatur dari kehidupan keraton. Dalam menjalankan tugasnya, bupati dibantu oleh pejabat-pejabat bawahannya, ibarat patih, jaksa, penghulu, demang atau kepala cutak (kepala distrik), camat (pembantu kepala distrik), patinggi (lurah atau kepala desa) dan lain-lain.

Kabupaten Bandung berada dibawah efek Mataram hingga simpulan tahun 1677. Kemudian Kabupaten Bandung jatuh ketangan Kompeni. Hal itu terjadi akhir perjanjian Mataram-Kompeni (perjanjian pertama) tanggal 19-20 Oktober 1677. Di bawah kekuasaan Kompeni (1677-1799), Bupati Bandung dan Bupati lainnya di Priangan tetap berkedudukan sebagai penguasa tertinggi di kabupaten, tanpa ikatan birokrasi dengan Kompeni.

Sistem pemerintahan kabupaten intinya tidak mengalami perubahan, alasannya yaitu Kompeni hanya menuntut semoga bupati mengakui kekuasaan Kompeni, dengan jaminan menjual hasil-hasil bumi tertentu kepada VOC. Dalam hal ini bupati dilarang mengadakan kekerabatan politik dan dagang dengan pihak lain. Satu hal yang berubah yaitu jabatan bupati wedana dihilangkan. Sebagai gantinya, Kompeni mengangkat Pangeran Aria Cirebon sebagai pengawas (opzigter) kawasan Cirebon-Priangan (Cheribonsche Preangerlandan).

Salah satu kewajiban utama bupati terhadap kompeni yaitu melakukan penanaman wajib tanaman tertentu, terutama kopi, dan menyerahkan hasilnya. Sistem penanaman wajib itu disebut Preangerstelsel. Sementara itu bupati wajib memelihara keamanan dan ketertiban kawasan kekuasaannya. Bupati juga dilarang mengangkat atau memecat pegawai bawahan bupati tanpa pertimbangan Bupati Kompeni atau penguasa Kompeni di Cirebon. Agar bupati sanggup melakukan kewajiban yang disebut terakhir dengan baik, efek bupati dalam bidang keagamaan, termasuk penghasilan dari bidang itu, ibarat penggalan zakar fitrah, tidak diganggu baik bupati maupun rakyat (petani) menerima bayaran atas penyerahan kopi yang besarnya ditentukan oleh Kompeni.

Hingga berakhirnya kekuasaan Kompeni-VOC simpulan tahun 1779, Kabupaten Bandung beribukota di Krapyak. Selama itu Kabupaten Bandung diperintah secara turun temurun oleh enam orang bupati. Tumenggung Wiraangunangun (merupakan bupati pertama) ankatan Mataram yang memerintah hingga tahun 1681. Lima bupati lainnya yaitu bupati angkatan Kompeni yakni Tumenggung Ardikusumah yang memerintah tahun 1681-1704, Tumenggung Anggadireja I (1704-1747), Tumenggung Anggadireja II (1747-1763), R. Anggadireja III dengan gelar R.A. Wiranatakusumah I (1763-1794) dan R.A. Wiranatakusumah II yang memerintah dari tahun 1794 hingga tahun 1829. Pada masa pemerintahan bupati R.A. Wiranatakusumah II, ibukota Kabupaten Bandung dipindahkan dari Karapyak ke Kota Bandung.


0 Response to "Sejarah Berdirinya Kabupaten Bandung"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel